Tuntasnya Kasus Gangguan Ginjal Ujung dari Penarikan Obat oleh BPOM
Apakah kejadian gangguan ginjal karena kontaminasi etilen glikol telah untas setelah penarikan BPOM?
Tanah air dikejutkan dengan munculnya gangguan ginjal akut yang mengintai anak-anak. Sejak akhir bulan Agustus 2022, laporan kasus meningkat tajam pada anak di bawah usia 5 tahun. Sempat disebut sebagai gangguan ginjal akut misterius karena belum ditemukan penyebab yang jelas, kasus yang tersebar hingga 28 provinsi ini tentu membuat para orang tua was-was. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) kemudian menyebut penyakit tersebut sebagai Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA). Investigasi dilakukan guna menemukan penyebab kasus GGAPA dan hal ini ditengarai terjadi akibat konsumsi obat sirop. Kecurigaan mengarah pada obat sirop yang telah terkontaminasi oleh suatu pelarut. Benarkah demikian?
Kilas Balik Lonjakan Kasus, Kekhawatiran Orang Tua, dan Penanganannya
Beberapa bulan lalu, ditemukan banyak laporan kasus anak yang didominasi oleh balita dengan gejala menyerupai gangguan ginjal. Pasien datang dengan gejala awal demam, batuk, pilek, diare, dan berkurangnya volume urin. Pasien anak ditangani sebagaimana penderita gangguan ginjal akut, tetapi kondisi pasien tidak menunjukkan adanya perbaikan. Berbagai laporan kasus dengan gejala serupa pada anak ditelusuri, membuat para dokter berspekulasi. Bukan gangguan ginjal akut, bukan pula multiple inflammatory syndrome in children (MIS-C). IDAI lantas menetapkan kasus tersebut sebagai GGAPA dengan dugaan cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di obat sirop.
Kecurigaan ini berawal dari penelusuran riwayat konsumsi obat oleh pasien. Pada dokter, tidak sedikit orang tua yang datang menjelaskan bahwa anaknya diberi obat sirop untuk menurunkan gejala awal sebagai langkah pertama penanganan. Menanggapi hal tersebut, mulailah penyelidikan. Sisa obat sirop pemberian orang tua diambil untuk dijadikan sampel dan terdeteksi adanya EG, begitu pula temuan EG pada darah dan urin pasien. Temuan ini diteruskan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku badan yang berwenang terhadap industri farmasi, dalam hal ini pengawasan obat-obatan, untuk ditelusuri lebih lanjut.
Setelah diselidiki lebih lanjut, kasus GGAPA yang melonjak pada September-Oktober 2022 ternyata telah ada sejak Januari 2022. Namun, saat itu kasus masih dianggap sebagai gangguan ginjal akut. Dilansir dari sehatNegeriku oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), per 15 November 2022 tercatat 324 kasus GGAPA: 111 sembuh, 199 meninggal dunia, dan 14 pasien masih dalam perawatan. Hingga 2 November 2022 tidak lagi ditemukan penambahan kasus baru. Dengan banyaknya korban berjatuhan, muncullah pertanyaan dari berbagai pihak, “mengapa kasus GGAPA tidak ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB)?” Penetapan kasus GGAPA sebagai KLB diharapkan dapat memberikan penanganan yang lebih serius baik secara preventif maupun kuratif. Merespons hal ini, Prof. Dr. dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K) berpendapat bahwa penetapan hal tersebut bukan lah wewenang seorang dokter. Pun untuk menyatakan sebuah peristiwa sebagai KLB harus memenuhi kriteria tertentu, merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No. 1501 tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan.
Pasien dengan GGAPA ditangani layaknya penderita gangguan ginjal akut dan mengatasi gejala simtomatis terlebih dahulu sesuai dengan etiologinya. Bilas lambung, pemberian natrium bikarbonat, terapi suportif thiamin dan piridoksin, hemodialisis–bila terindikasi asidosis metabolik, serta fomepizole–antidotum utama EG, merupakan serangkaian terapi yang diberikan pada pasien.
“(Antidotum) fomepizole tidak ditanggung oleh BPJS, tetapi disediakan oleh Kemenkes,” lanjut Sudung. Perbaikan yang signifikan mulai terlihat pada pasien yang menerima perawatan tersebut. Selengkapnya, Kemenkes telah membarui dan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/III/3619/2022 tentang Tata Laksana Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Akibat Intoksikasi Etilen Glikol-Dietilen Glikol dan Glikol Lainnya pada Anak di Rumah Sakit.
Temuan Cemaran Etilen Glikol dan Dietilen Glikol pada Obat Sirop
Obat sediaan sirop seringkali menjadi andalan orang tua jika sang buah hati jatuh sakit. Selain bentuk sediaan cair yang memudahkan dikonsumsi, obat sirop menawarkan beragam rasa yang menarik bagi anak. Terkait dugaan obat sirop yang tercemar oleh EG-DEG, prakiraan tersebut ditanggapi oleh BPOM selaku otoritas pengawas obat di Indonesia. Berdasarkan hasil temuan BPOM, ditemukan sampel dengan kadar EG-DEG melebihi 52%. Etilen glikol dan dietilen glikol merupakan senyawa organik golongan alkohol polivalen, cairan tidak berwarna, dan memiliki rasa manis. Kemiripan karakteristik dengan gliserol maupun propilen glikol (PG) ini lah yang mungkin menyebabkan penyalahgunaan. Menurut Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.Si., Apt. selaku guru besar Fakultas Farmasi UI, “Kontaminan itu mungkin dari (hasil) sintesis. Kalau terlalu banyak, mungkin memang ada penyalahgunaan.”
Fungsi Pengawasan Obat oleh Badan POM: Dimana Letak Kesalahannya?
Pada peruntukannya, EG-DEG dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pada produk obat yang dikonsumsi. Fakta di lapangan, EG-DEG termasuk dalam cemaran yang mungkin ada dalam batas tertentu di dalam pelarut propilen glikol, gliserol, dan sorbitol. Dengan catatan, standar maksimal cemaran pada bahan baku adalah 0,1% dan ambang batas aman konsumsi pada sirup obat tidak lebih dari 0,5 mg/kgBB/hari. BPOM telah melakukan tugas dan fungsi pengawasan sesuai dengan standar dan ketentuan yang berlaku secara internasional. “Pada praktik di lapangan, teridentifikasi adanya pihak yang dengan sengaja memanfaatkan gap dalam sistem jaminan keamanan dan mutu dari hulu ke hilir,” terang Dr. Ir. Penny K. Lukito, MCP selaku Kepala BPOM.
Sejauh ini, BPOM telah menindak lima industri farmasi dan produsen yang memproduksi obat sirop dengan cemaran EG-DEG di atas ambang batas dan satu distributor bahan kimia yang melakukan pengoplosan PG. Tidak hanya itu, BPOM juga menarik obat yang terkontaminasi dari peredaran serta berkoordinasi dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan Agung untuk mendukung kelancaran proses penindakan dan penegakan hukum.
Dari kasus kejadian tidak diinginkan ini, BPOM meminta komitmen industri farmasi dan jajarannya untuk senantiasa memenuhi persyaratan mutu produk sesuai peraturan perundang-undangan, termasuk kualifikasi pemasok bahan baku. Adanya kasus GGAPA ini meningkatkan kewaspadaan baik dari konsumen, produsen, serta regulator. Kedepannya, masyarakat tidak perlu khawatir dengan obat sirop. Semoga segala pihak terkait dapat bekerja profesional agar konsumen dapat memberikan kepercayaan penuh kepada seluruh pihak sesuai dengan porsi masing-masing. orin, rahmi