Vaksinasi sebagai Syarat Administrasi, Tepatkah?
Menjadi syarat untuk bergabung ke ruang publik, tepatkah sertifikat vaksin dalam mempercepat cakupan vaksinasi?
Vaksinasi merupakan salah satu langkah untuk mengendalikan pandemi Covid-19. Program vaksinasi dilakukan untuk mengurangi infeksi serta angka kesakitan akibat Covid-19 sehingga masyarakat dapat secara berangsur-angsur kembali beraktivitas dengan normal seperti sediakala. Untuk mencapai tujuan tersebut, vaksinasi perlu dilakukan pada 208 juta masyarakat Indonesia. Terhitung per 18 Oktober 2021, capaian cakupan vaksin dosis pertama dan kedua saat ini baru mencapai 51,85% dan 30,34%. Artinya, program vaksinasi masih jauh dari target yang ditetapkan.
Salah satu upaya pemerintah dalam mempercepat laju vaksinasi adalah dengan menggunakan status vaksinasi sebagai syarat administrasi. Beberapa peraturan baru secara kompak menginstruksikan sertifikat vaksin sebagai ketentuan bagi masyarakat sebelum melakukan kegiatan, seperti berpergian atau sekedar membeli kebutuhan di pusat perbelanjaan. Instruksi Kementerian Dalam Negeri (Inmendagri) No. 15 tahun 2021 dan Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19 No. 16 Tahun 2021 mensyaratkan bukti sudah melakukan vaksinasi setidaknya dosis pertama sebelum melakukan perjalanan. Senada dengan kebijakan tersebut, Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 974 Tahun 2021 juga mewajibkan sertifikat vaksin sebagai syarat berkegiatan pada sektor yang telah diizinkan selama PPKM level 4 pada 4-16 Agustus 2021. Namun, tepatkah penerapan kebijakan tersebut?
Vaksinasi: Tak Hanya Soal Demand, Tetapi Juga…
Penerapan kartu vaksin sebagai syarat perjalanan dapat dimaknai sebagai upaya menciptakan kemauan dan demand vaksin dari masyarakat. Meskipun begitu, Center for Indonesia’s Strategic Development Institute (CISDI) mencatat bahwa masalah dalam pencapaian target vaksinasi tidak hanya terletak pada kemauan masyarakat, tetapi juga pada keterbatasan stok dan akses vaksin. “Ada hambatan berlapis yang membuat orang tidak bisa mendapatkan vaksin, ditambah proses birokrasi yang rumit,” ungkap Muhammad Iqbal Hafizon, S. Hub. Int. selaku Policy Unit Officer CISDI.
Salah satu wujud dari rumitnya proses birokrasi adalah dibutuhkannya NIK sebagai syarat vaksin. Padahal, masih terdapat 10,7 juta penduduk Indonesia yang belum memiliki NIK, khususnya masyarakat adat di daerah terpencil yang masih belum terdata dengan baik. Kendala administrasi lainnya adalah proses skrining sebelum vaksin yang dinilai berlebihan. “Skrining yang dilakukan seharusnya mengacu pada kontraindikasi WHO saja, yaitu pada pasien imunosupresi atau kemoterapi. Tensi dan gula darah tidak perlu karena pada uji klinis vaksin sudah melibatkan pasien yang seperti itu,” terang Ahli Epidemiologi FKM UI, dr. Syahrizal Syarif, MPH., Ph.D.
Akses menuju vaksin juga dihambat oleh keterbatasan stok vaksin. Beberapa daerah, khususnya di luar Pulau Jawa, tidak memiliki stok vaksin yang mengimbangi jumlah masyarakat. Di Palembang misalnya, antrean untuk mendapat vaksin mencapai sekitar tiga ribu orang, tetapi pemerintah kota hanya menyediakan 100 dosis. Hal tersebut menggambarkan keterbatasan infrastruktur dalam distribusi vaksin. Belum lagi, masalah ini juga diiringi oleh manajemen yang kurang baik. Hingga saat ini, penyalahgunaan dosis vaksin dengan memberikan vaksin booster untuk kelompok non-nakes masih ditemukan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Padahal, jatah vaksin tersebut seharusnya diberikan pada kelompok yang belum melakukan vaksinasi.
Masalah finansial juga turut menghambat cakupan vaksinasi di Indonesia, khususnya pada masyarakat kelompok ekonomi bawah. “Mereka memiliki willingness, tetapi tidak memiliki power untuk vaksin, misalnya biaya untuk transportasi. Ada banyak hal yang dipikirkan hingga akhirnya tidak vaksin,” ujar Iqbal. Semua hambatan akses vaksinasi ini menyebabkan adanya sebagian masyarakat yang sulit untuk mengakses ruang publik serta transportasi akibat syarat vaksinasi sebagai administrasi.
Di samping itu, capaian kesuksesan vaksinasi tidak bisa hanya dinilai secara kuantitatif dengan kenaikan jumlah orang yang divaksin saja. Strategic Advisory Groups of Experts (SAGE) WHO merekomendasikan adanya kualitas penjangkauan vaksinasi. Nyatanya, di balik peningkatan jumlah vaksinasi yang masif, masih terdapat ketimpangan persebaran vaksin antara Pulau Jawa dan non-Jawa. Prioritas penerima spesifik, yaitu kelompok dengan komorbid dan usia lansia juga masih tidak terjangkau sepenuhnya. “Kalau kita lihat datanya, lansia yang menerima vaksis dosis pertama masih di angka 25%. Padahal, programnya sudah mulai dari Februari,” keluh Iqbal.
Kurang Ideal, Namun Pragmatis?
Di balik berbagai kekurangannya, pemberlakuan sertifikat vaksin sebelum memasuki ruang publik merupakan salah satu upaya untuk mencegah penularan Covid-19. “Upaya syarat vaksin wajar dan harus dilakukan. Kita harus memastikan mereka yang masih bergerak di ruang publik menghindari mereka yang berpotensi menularkan,” ucap Syahrizal. Upaya tersebut tentunya juga akan menurunkan angka kematian.
Persyaratan vaksinasi juga dapat menjadi katalis untuk mempercepat capaian vaksinasi jika berfokus pada tingkat penerimaan masyarakat. Hal tersebut menjadi krusial karena keberhasilan vaksin memerlukan penerimaan dari masyarakat. “Vaksin perlu dilakukan seluas-luasnya dan secepat-cepatnya, manfaatnya hanya dapat dirasakan kalau cakupan tinggi,” ujar vaksinolog dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc., Sp.PD. Untuk mencapai cakupan tersebut, lulusan magister vaksinologi University of Siena, Italia itu juga berpendapat bahwa pemberian stimulus dalam bentuk insentif atau regulasi seperti kebijakan syarat vaksin dapat dilakukan.
Meskipun kurang ideal, penerapan regulasi tersebut dapat dipandang efektif sebab sulit untuk mengubah kesadaran masyarakat dalam waktu cepat. Dalam penerapannya, tidak ada pula pelanggaran yang dilakukan. “Aturannya jelas dan tidak ada paksaan. Masyarakat bisa memilih untuk tidak vaksin, tetapi sebagai konsekuensinya, tidak bisa melakukan perjalanan. Tidak ada hak dasar yang dicabut,” ucap Dirga. Walaupun demikian, pemerintah dan tokoh masyarakat tetap perlu memberikan edukasi agar masyarakat paham mengenai alasan perlu melakukan vaksin.
Kebijakan sertifikat vaksin sebagai syarat administrasi memang bukanlah solusi yang paling ideal untuk mempercepat cakupan vaksinasi dan menimbulkan beberapa masalah baru. Akan tetapi, mengingat program vaksinasi yang perlu dilaksanakan dengan cepat dan bukan hal yang mudah untuk menyadarkan masyarakat, kebijakan tersebut dapat menjadi solusi pragmatis. Namun, perlu diingat bahwa percepatan program vaksinasi tidak bisa hanya bertumpu pada selembar sertifikat vaksin. Selain mendorong masyarakat untuk menciptakan demand vaksinasi, pemerintah juga perlu memastikan supply vaksin dengan mengusahakan keamanan stok vaksin, memastikan distribusi lancar dan merata, memberi kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses vaksin, dan juga memberikan solusi bagi masyarakat yang belum dapat divaksin. yasmin, rejoel